Kau undang benci masuk ke pelataran rumah
Jangan pernah tanya, berapa kali aku jatuh. Jika ada kata yang melebihi dari kata sering maka akan ku gunakan itu sebagai gambaran perasaan yang berulang dibuat patah oleh nyata, dibumi hanguskan oleh kata sementara dan berujung duka selamanya.
Kau pikir mudah menaruh hati kepada yang sudah pernah patah?
Layakkah kau jika ku panggil benci? Aku tidak sedang meratapi kecewa, melampiaskannya pun tak tahu harus kemana. Ini bukan tentang kesimpulan atau siapa yang telah mengambil keputusan.
Untuk setiap mulut yang senantiasa ingkar dari perilaku yang telah membohongi diri sendiri. Mengaburkan pandangan seolah tak pernah merasakan kemudian datang memanfaatkan rapuhnya sepi yang menjadi dilema saat kau putuskan segala pengharapan yang telah tulus ditambatkan.
Wahai engkau, racun mematikan yang ditaruh pada sebuah hidangan pembuka. Aku menyebutnya rasa percaya. Tak terlihat, tertutupi dengan syarat dan ketentuan agar nantinya dapat diperbudak oleh perasaan. Logikanya telah mati, kau undang benci masuk ke pelataran rumah agar aku dapat melangkah sedikit. Kemudian masuk ke ruangan eksekusi yang bagian dindingnya telah terpampang lukisan perhatian serta kasih sayang belaka yang benar-benar tak dapat dirasakan oleh indera perasa.
Kau beri waktumu sebagai bentuk manipulasi perasaan. Aku menyebutnya dengan kata nyaman. Kau hisap terus-terusan agar egomu terpuaskan sampai aku lelah dan mati ditengah perjalanan.
Pahitnya lagi, kau pikir telah memberi segalanya tanpa menimbang apa yang sudah aku lalui di dalam bait cerita pesakitannya.
Kau hanya ingin aku menyerah, kau hanya ingin aku kalah. Kau hanya ingin membuat aku terus merasa bersalah.
Kau anggap apa aku sebenernya? Katakan walau itu menyakitkan. Kau hanya menghargai usahamu, sedang aku hanya diberi setetes belas kasihan.
Kau sungguh benar-benar hanya mencintai dirimu sendiri. Sebesar apapun usaha yang telah aku beri, tak pernah cukup untuk jiwa yang selalu haus akan validasi. Aku hanya memberikan respon dari apa yang telah jelas disampaikan! kau terima syukur, dimuntahkan pun sudah tak jadi soal.
Aku sudah hadapi dan aku mulai berani lalu kau patahkan lagi.
Komentar
Posting Komentar