Ngelantur

 Lagi pula, kita hanyalah waktu yang mengintai di celah-celah kamar anak kos. Sampai kapan bukan lagi pertanyaan dengan jawaban yang seperlunya. Mati rasamu, mati pula keinginan mu. Apa makna dari menggurui, jika tak terdenger dan terealisasi, seperti janji-janji abdi negara yang mulai korup. 

 Wejangan-wejangan tanpa menyan yang tak di terima oleh akal pikiran dari tubuh-tubuh yang kelelahan. Malam tepat di peraduan, memeluk hangat gorengan abang-abang stasiun Kejaksan. Apa lagi? Jawab supir angkot yang ngetem baru dapat dua penumpang.

 Para pemabuk sibuk menghabiskan dorongan, kekayaan, kemapanan dan kekuatan. Dan itu katanya lebih baik dibanding para buruh yang bekerja lembur dengan jam kelipatan. 

 Kita hanya terdiam menyaksikan alur cerita dunia yang itu-itu saja. Katanya pasti ada perubahan, nyatanya tetap pada patokan dan kasta-kasta keturunan. Semboyan mu sudah tak relevan, acungkan jari mulai sanggah setiap apa yang dilakukan. 

 Sia-sia usaha penari telanjang, tak dapat pelanggan bos-bos yang mangkal, para oknum jahanam yang bahunya di tandai bintang-bintang kehormatan. Bisnis sepi, geser kanan, geser kiri modal masih ke tutup rugi.

 Kita hanyalah batasan yang ingin kebebasan, sedang para demonstran berjibaku di jalanan. Nuntut ini, nuntut itu menggantung nasib pada pantopel hitam yang di semir dan di sol sebagian. 

 Apa yang terjadi dengan ku, bukan jadi tanggung jawab mu. Berbusa-busa mulut memberi arahan tak satu pun yang masuk ke kuping pendengar.

 Sialan, bapak kos mulai menyelinap masuk ke ruangan, mengendap-ngendap curi celah cari kesempatan, siapa tahu ada yang bisa dimanfaatkan. Capek sekali, santainya ribuan kali. 

Komentar

Postingan Populer